Kamis, 25 Juli 2013

Salib: Mati atas Ego

H. Tedjoworo,osc

[Monyet di perempatan jalan itu kelihatan masih kecil dan kurus kering. Rantai terpasang di lehernya. Matanya, andai bisa bicara, menunjukkan ketakutan amat sangat dan tiadanya pilihan. Hidupnya akan berakhir di perempatan jalan. Ia harus meloncat-loncat, melakukan atraksi-atraksi konyol seturut paksaan seorang anak kecil tuannya, yang entah membayar berapa untuk menyewa monyet itu setiap hari. Saya lihat di perempatan itu tidak seorang pun pengendara motor atau mobil yang menyaksikan kelihatan terhibur atau tertawa. Sebaliknya, yang saya lihat adalah tatapan kasihan, tak berdaya, tak peduli. Maka, monyet yang matanya ketakutan karena terus menerus diperlakukan kasar itu, dengan ironis, ‘menghibur’ orang-orang yang sama sekali tidak terhibur; bahkan, ia ‘menghibur’ dengan terpaksa dan ketakutan. Menyedihkan. Hidup demikian kejam bagi monyet itu. Berapa lama ia akan tahan? Bisakah ia menangis? Bisakah ia berceritera tentang harapannya, kalau toh masih ada dalam keadaan itu? Mana yang ‘lebih baik’ baginya, hidup seperti itu, atau mati saja? Betapa mengerikan kalau itu menimpa diri kita. Dalam hitungan menit kita takkan bertahan, dan mungkin memohon supaya hidup kita diambil saja saat itu. Siapa yang tahan, bila dijatuhkan, dan dihancurkan, berkali-kali...]

Verbum Crucis, Virtus Dei. Sabda Salib adalah Kuasa Allah. Kalau Salib adalah Kuasa dan Hikmat, berarti kita menantang orang-orang Yahudi yang menyebutnya ‘scandalon’ (sandungan) dan juga orang-orang Yunani yang menyebutnya ‘morion’ (ketololan, kebodohan) (1Kor 1:17-25). Entah siapa yang mau berpikir bahwa salib adalah kekuasaan Allah, karena yang jelas kelihatan di sana adalah kekalahan, kejatuhan dan kegagalan. Entah di mana kuasa Allah pada salib! Sosok yang ‘seharusnya’ mahakuasa dan mahamulia itu digantung dan ‘diselesaikan’ di sana. Dia adalah ‘skandal’ karena tidak sesuai dengan harapan manusia. Seorang Mesias yang tidak mampu menyelamatkan diri-Nya sendiri? (Luk 23:35). Yang benar saja.

Salib juga tidak berhasil meyakinkan pikiran siapapun, sebab yang ada adalah kata-kata ‘tidak mengerti’, ‘tidak masuk akal’. Orang-orang menggelengkan kepalanya karena tidak mampu melihat hikmat dan kebijaksanaan pada salib. Kalau tidak masuk akal, mengapa dipaksakan untuk mengerti? Alangkah dalam cogito ergo sum Descartes itu meracuni kita. “Aku berpikir, maka aku ada”. “Kalian yang tidak bisa berpikir, maaf, kalian tidak ada, tidak dianggap.” Musnahkan saja orang-orang yang lemah dan tidak berguna, seperti pada zaman Nazi? Dunia ini hanya untuk orang pandai dan berguna.

Seperti Heidegger yang mencoret kata ‘Being’, atau Marion yang mencoret kata ‘God’, bagaimana kalau nama Anda masing-masing pun dicoret? Maaf, Anda ini tidak penting. Mau ada atau tidak, dunia jalan terus. Bahkan mungkin akan lebih baik kalau Anda tidak ada, tidak dianggap. Bagaimana kalau dalam salib iman kita masing-masing, hikmat dan kuasa Anda dicoret? Sakit hati? Mengapa sakit hati? Karena kita pikir itu segala-galanya dalam hidup kita. Kita pikir, kita bisa hidup dengan kuasa dan kepandaian semata. Kita pikir, hidup ini hanya perkara survival of the fittest-nya Darwin. Salah! Yang mahakuasa dan mahabijaksana pun sudah dicoret di kayu salib! Dan itu-lah sebabnya Dia pernah mengatakan, “Berbahagialah orang yang miskin dan dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga” (Mat 5:3.10).

Verbum Crucis, Virtus Dei. Sabda salib, adalah Kuasa Allah, bukan kuasa dan hikmat manusia. Mungkin kita lupa dengan kata ‘Allah’ di sana. Sebab, yang disalibkan, yang dicoret, adalah kuasa dan hikmat kita sebagai manusia. Kemanusiaan Yesus memang kalah dan dihancurkan habis-habisan. Kalau Ia memang tak berdaya, lunglai, pasrah ditarik dan didorong, dicambuk sampai ke Kalvari, itu semua untuk menunjukkan kepada kita bahwa apapun yang kita andalkan dari diri sendiri akan dijadikan NOL besar! Nothing! Anda akan gagal. Tiap kali merasa sedikit punya kekuatan untuk bangkit, Anda akan didorong dan dijatuhkan lagi, dan lagi, dan lagi. Kalau mau ‘mengerti’ apa itu salib, kita memang harus dihancurkan berkeping-keping, berkali-kali.

Apakah kita pikir hidup itu kejam? Ya. Bukankah kita tidak bisa ‘melihat’ ketidakberdayaan dan ketakutan di mata monyet kecil di perempatan jalan itu? Sehebat apapun dia melakukan atraksi, jumpalitan tidak keruan, tetap saja orang-orang yang menyaksikan tidak tertawa, tidak terhibur, tapi juga tidak menangis melihat kekejaman itu. Betapa sia-sia usaha monyet itu. Ia hanya diberi secuil makanan sebelum ditarik-tarik dan dipukuli lagi setiap kali mau istirahat sejenak.

Pertanyaan yang mungkin membuat kita tertawa adalah: apakah Anda pernah gagal? Mengapa? Karena kita tahu semua orang pernah gagal. Soalnya menjadi lain kalau pertanyaannya: berapa kali Anda gagal? Nah, kita baru mulai berpikir. Kita punya mimpi, banyak mimpi. Dan manakala satu per satu mimpi itu kandas, buyar, tidak terwujud, kita mulai bertanya: Tuhan, mau-Mu apa? Apalagi kalau kita sudah sekian lama berjuang, jatuh, bangkit lagi, jatuh, bangkit lagi, cepat atau lambat kita akan sampai pada keadaan diam, tatapan kosong, tidak tahu harus berbuat apa lagi. Kalau mau mengalami ‘kuasa’ Allah dalam salib, kita memang harus dipereteli, ditelanjangi, habis-habisan, berkali-kali. [Dream Theater, “Build Me Up, Break Me Down”]
Baru setelahnya, kita akan melihat, dan hanya melihat, bahwa Allah bekerja. Bukan kita, tapi Allah bekerja. Dia tidak bisa bekerja, kalau kita terlalu hebat, terlalu mengontrol segala-galanya dan memegang kendali atas keadaan. Namun, betapa sulitnya kita mundur ! Betapa sulitnya kita melepaskan kehebatan dan kepandaian kita! Betapa beratnya kita mengikhlaskan mimpi yang tidak kunjung jadi kenyataan (malah kita mencoba tidur lagi untuk ‘melanjutkan’ mimpi kita).

Mengapa begitu berat untuk melepaskan ‘ego’? Karena kita begitu sayang padanya! Karena kita tidak mau berubah, tidak mau diubah. Kita mau SEPERTI INI. Perhatikan saja, alangkah dahsyat gengsi kita dibela mati-matian. Ditegur saja marah, apalagi dijegal. Kita terlalu banyak ngomong, terlalu banyak rencana. Bahkan sering mau membela rencana sendiri, daripada menyesuaikan diri pada rencana Allah. Lalu kita berdalih, “Saya ‘kan tidak tahu apa rencana Allah?” Bukan. Bukan tidak tahu, tapi tidak mau diam, tidak mau dibelokkan. Keukeuh.

Lalu bagaimana Allah ‘berbicara’ di salib? Ia berbicara supaya kita ‘ikut saja’, ‘bernafas saja’. Jadilah saksi. “Dalam kelemahan kita, kuasa Allah menjadi sempurna” (2Kor 12:9-10). Kadang-kadang, yang minimum dari yang masih BISA kita lakukan itu pun sudah cukup. Kita bukan monyet kecil di perempatan jalan itu. Kita masih punya harapan dan percaya bahwa kuasa Allah itu sempurna, akan mengejutkan. Kita tidak akan tahu sebelumnya. Kuasa itu takkan terduga oleh hikmat kita. Tapi syaratnya satu, berhentilah dengan rencana kita, dan ‘ikuti saja’ kita akan dibawa ke mana. Semakin memaksakan diri, kita hanya akan semakin kesakitan, dan kehilangan harapan.

Bersaksi akan salib Kristus, dimulai dengan membiarkan ‘ego’ kita dihancurkan, meski terkadang harus berkali-kali. Dari ‘subjek’ menjadi ‘saksi’. Dari I menjadi me. Katakanlah, “Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna...” (Luk 17:10). Jangan menantang Tuhan apalagi di saat-saat paling gelap hidup kita. Lakukan yang paling minimum sekalipun yang masih bisa kita lakukan. Berikan saja tangan kita untuk dituntun masuk ke dalam rencana-Nya. Kita mungkin akan ‘kehilangan’ kepandaian dan kehebatan kita itu, tetapi sesuatu yang mengejutkan akan kita alami. Hidup kita mungkin akan dianggap ‘skandal’ dan kebodohan, juga oleh para sahabat dekat, tetapi bagi kita sendiri justru makin bermakna dan pantas untuk disyukuri.

Allah baru bekerja, saat ‘diri’ kita disalibkan. Verbum Crucis, Virtus Dei. Pada Salib, kuasa Allah sempurna. Salib akan ‘bersabda’, ketika kita belajar diam, mengalahkan dan mencoret diri kita sendiri. Belajarlah mengalami, memandang, terlibat. Jangan menilai. Jangan mengatakan “aku berpikir, maka aku ada.” Biarkan pikiran kita, kehebatan ‘subjek’ dalam diri kita, dipereteli, dicabik-cabik, dihanguskan, oleh Salib Yesus. Dan pada saat itu, kuasa Allah akan membanjiri mata dan menggetarkan telinga kita: “Akulah Yahweh, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tempat perbudakan. Aku, Yahweh, Allahmu, adalah Allah yang cemburu” (Kel 20:2.5). Jangan melawan. Jangan menantang. Biarkan dirimu dihancurkan oleh-Nya. Biarkan Dia membentukmu kembali, sesuai kehendak-Nya. Kamu akan kehilangan dirimu sendiri, tapi kamu akan memandang kuasa-Nya bekerja, menghidupkanmu kembali.

Amin.

Rabu, 24 Juli 2013

Mukjizat ke-69 dari Lourdes



Gereja Katolik nyatakan Mukjizat ke-69 dari Tempat Ziarah Lourdes
22/07/2013

Lourdes yang terletak di Perancis merupakan salah tempat ziarah umat Katolik/Wikimedia.orgPihak Gereja Katolik, Minggu (21/7), secara resmi menyatakan telah terjadi mukjizat atas seorang perempuan Italia, Danila Castelli, usai dia berkunjung ke tempat ziarah umat Katolik di Lourdes, di Perancis barat daya, tahun 1989.

Castelli sembuh total dari penyakit darah tinggi akut yang dideritanya sejak berusia 34 tahun.Uskup Pavia, Italia, Giovanni Giudici, sebagaimana dikutip kantor berita AFP hari Minggu menegaskan, pengakuan atas mukjizat yang dialami Castelli dilakukan bulan lalu. Namun karena banjir besar melanda lokasi ziarah Lourdes bulan lalu membuat berita mukjizat ini ditangguhkan.

Castelli tinggal di daerah Pavia, Italia.
“Saat mukjizat pengobatan mau diumumkan, terjadi banjir setinggi dua meter. Kami memutuskan untuk tidak membuat pengumuman resmi soal mukjizat ini,” ujar Joel Luzenko, jurubicara bagi kawasan Lourdes.

Castelli, yang lahir pada Januari 1946 menderita tekanan darah tinggi (hipertensi) serius. Dia mengalami tekanan darah tinggi yang tak terkendali pada usia 34 tahun.

Sebagaimana diungkapkan situs Lourdes, lokasi di mana diyakini umat Katolik sebagai tempat penampakan Bunda Maria kepada gadis pengembala Bernadette, Castelli dilaporkan telah sembuh dari penyakitnya tanpa memerlukan obat sejak dia berkunjung ke Loudes tahun 1989.

Hasil pemeriksaan atas sejumlah problem yang dialami dalam kesehatannya, Casteli dinyatakan sehat. Padahal, dia sebelumnya menjalani beberapa kali pembedahan namun tak berhasil.

“Saat berkunjung pada Mei 1989 ke Lourdes, Danila Castelli ikut merendamkan diri dalam bak mandi yang memang disiapkan untuk mereka yang membutuhkan pengobatan. Saat dia keluar dari bak mandi, dia merasakan hal yang luar biasa dan tubuhnya semakin sehat,” ujar situs Lorudes.

Beberapa bulan kemudian dia melaporkan kepada Kantor Observasi Medis Lourdes bahwa dirinya sehat karena mendapatkan mukjizat berupa pengobatan dari Lourdes. Setelah lima kali pertemuan antara tahun 1989 sampai tahun 2010, kantor medis Lourdes menyimpulkan, Castelii sembuh, sepenuhnya dan selamanya, sejak dari dia berkunjung ke Lourdes 21 tahun lalu. Dia sembuh dari sindrom tanpa melalui perawatan ataupun pembedahan.

“Kasus ini diakui setelah dilakukan klarifikasi Komite Medis Internasional yang melibatkan 20 dokter yang kemudian mengeluarkan sertifikat bahwa Castelli sembuh total . Sulit untuk dijelaskan secara pengetahuan keilmuan saat ini,” ujar Uskup Pavia soal mukjizat pengobatan Castelli.

Mukjizat penyembuhan ini merupakan yang ke-69 setelah dilakukan klarifikasi secara ilmiah oleh para ahli sejak tahun 1850-an. Mukjizat penyembuhan ke-68 dialami seorang biarawati asal Italia yang lumpuh bertahun-tahun, namun kemudian bisa berjalan lagi setelah berkunjung ke Lourdes tahun 1965. Kesembuhan sang biarawati ini secara resmi diakui tahun lalu.

Sumber: kompas

Kamis, 11 Juli 2013

Nyalakan Pancasila



Pendidikan Inklusif Sudah Harus Digalakkan

MEMANG ada  masalah di bangsa ini, terutama jika dikaitkan dari segi pluralitas. Tapi persoalan kita adalah hukum yang tidak ditegakkan.Namun  tingkat intoleransi yang tergolong tinggi itu kan hanya di beberapa daerah. Aksi kekerasan bermotif keagamaan kebanyakan terjadi di wilayah Jawa Barat. Sementara di daerah-daerah yang lain relatif. Namun  persoalanyang terjadi atas kebhinnekaan itu adalah karena hukum tidak ditegakkan.Kalau hukum ditegakkan, aturan main dijalankan, tentu tidak ada masalah.

Misalnya persoalan rumah ibadah. Kalau orang mengikuti aturan Peraturan Bersama Menteri (Perber)Bab IV tentang Pendirian Rumah Ibadah, maka sebenarnya  tidak ada persoalan dalammendirikan rumah ibadah. Karena syaratnya harus ada minimal 90 (sembilan puluh) orang pengguna rumah ibadah tersebut yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah.Lalu ada paling sedikit 60 masyarakat setempat yang memberikan dukungan dan disahkan oleh kepala kelurahan/desa. Selanjutnya ada rekomendasi tertulis kepala kantor kementerian agama kabupaten/kota dan rekomendasi tertulis Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kabupaten/kota. Jadi tidak ada alasan orang sulit mendirikan rumah ibadah.Bila ada 90 orang (yang bisa dibuktikan dengan KTP) bisa mendirikan tempat ibadah. Bila tidak ada dukungan lingkungan maka kewajiban pemerintah menyediakan fasilitas.

Persoalannya adalah hukum yang tidak ditegakkan.  Artinya penguasa tidak mau menjalankan amanat konstitusi. Kalau penguasa menjalankan amanat konstitusi secara tegas, jelas dan pelaku kekerasan dihukum, selesai! Tetapi yang ini sulit, karena tidak ada kemauan politik. Itu persoalannya. Semua persoalan bangsa yang timbul akhir-akhir ini mestinya bisa diatasi, karena ada mekanisme hukum. Kalau polisi menjalankan tugasnya, dalam arti menindak para pelaku kekerasan setimpal dengan perbuatannya, ini pasti menimbulkan efek jera. Tapi sebaliknya, kalau hukum tidak dijalankan maka yang ada adalah semacam  lingakaran setan.

Jadi sekali lagi, ini merupakan persoalan konstitusi. Dalam konstitusi sudah tegas bahwa negara menjamin kebebasan beragama, dan negara memberikan perlindungan yang sama terhadap setiap warga negara dalam menjalankan aktivitas keagamaan sesuai keyakinan masing-masing. Maka konstitusi harus ditegakkan. Kekuatan masyarakat sipil harus terus-menerus memonitor, dan bahkan mendesak  penguasa agar menjalankan amanat konstitusi. Itu saja jalan keluarnya.

Banyak orang berbicara tentang kemungkinan terjadi disintegrasi bangsa terkait semakin kurangnya perlindungan dan penghormatan terhadap pluralitas. Tapi saya sendiri tidak melihat kemungkinan itu. Peluang disintegrasi tidak akan ada di negeri ini. Sebab kita berbeda dengan Uni Soviet. Kita ini sudah hidup plural sejak dahulu kala. Pluralitas  itu sudah menjadi habit bangsa ini. Karena cara berpikir, bertindak, bernalar secara pluralitas itu sudah mendarah daging di masyarakat kita. Jadi tidak akan mungkin terjadi disintegrasi.

Intoleransi menyebabkan disintegrasi? Logikanya tidak ada. Tidak bisa itu. Aksi-aksi intoleransi itu hanya mencoreng nama Indonesia di dunia internasional. Dunia akan melihat  bahwa bangsa yang plural gagal membangun pluralisme. Dan ketika ada yang menyebut kita sebagai  negara gagal, ukurannya apa? Negara gagal harus dilihat dati banyak faktor.Yang benar adalah negara kita sedang  dalam proses menuju demokrasi. Kegagalan kita adalah pemerintah yang abai, tidak menjalankan amanat konstitusi. Tetapi gara-gara itu tidak  bisa  negara kita dinilai gagal. Maka dari itu, kita harus mendorong pemerintah supaya bertindak tegas terhadap pelaku kekerasan yang membawa-bawa agama itu.

Kalau ternyata sang pemimpin tidak mau? Ya harus ada dorongan dari DPR/parlemen, dan masyarakat. Kalau pemerintah tetap diam saja, dan kalau parlemennya juga tidak berbuat apa-apa, itu  berarti harus ada pilihan baru. Artinya, dalam Pemilu 2014 nanti, kita carilah pemimpin yang tidak desesif,  tetapi pemimpin yang punya kemauan untuk menegakkan konstitusi. Saya yakin sosok seperti itu ada di bangsa kita. Jadi kita jangan melihat secara pesimis. Negara tidak akan kiamat gara-gara intoleransi. Apalagi masa kepemimpinan pemerintah saat ini hanya tinggal beberapa bulan lagi.

Kita harus positif melihat masa depan bangsa dan negara ini, sebab sekarang banyak orang rindu melihat keindonesiaan yang murni. Kita bisa melihat bahwa sepuluh tahun ini relasi keagamaan sebenarnya cukup positif. Memang ada yang negatif tetapi tidak bisa digeneralisasi seperti itu. Pendidikan inklusif itu sudah harus digalakkan. Sikap hidup inklusif  menjadi cara bertindak berpikir bernalar bangsa ini. Memang ada pihak-pihak yang sudah mendidik anak-anak mereka dari sejak kecil untuk menjadi intoleran. Mereka mengajari anak-anaknya untuk membenci orang yang punya keyakinan lain, dan bahkan mencap orang yang berbeda kayakinan dengan mereka sebagai kafir! Namun kelompok seperti itu jumlahnya kecil. Dan mereka itu sebenarnya tidak disukai.

Gereja ramah lingkungan

Dibandingkan dengan gereja lain di Indonesia, Katolik relatif aman. Itu karena Katolik membangun sikap gereja yang ramah lingkungan dan peduli masyarakat sekitarnya. Karena Katolik adalah gereja inkulturasi. Gereja Katolik adalah gereja yang meng-Indonesia. Sementara ada gereja lain yang eksklusif, beberapa di antaranya, boleh dikatakan, lupa pada inkulturasi itu. Sehingga terjadi benturan.

Misi Gereja Katolik, pertama-tama, bukan membangun gereja.  Karena gereja Katolik, pertama-tama  lebih pada membangun sosialisasi dengan masyarakat. Maka hal pertama yang diupayakan gereja Katolik adalah sarana pendidikan, rumah sakit,  panti asuhan, baru gereja. Karena bagi umat Katolik, gereja itu  hanya sarana hadirat Allah. Maka gereja yang ramah lingkungan dan peduli kehidupan di sekitarnya, itu  menjadi model gereja Katolik sejak awal. Karena  misi Katolik sejak awal itu lebih menekankan kepada pendekatan kultural.

Gereja Katolik tetap setia pada panggilannya, yakni memajukan harkat kemanusiaan, bukan semata untuk urusan pembaptisan. Untuk menjadi orang Katolik itu sulit. Seseorang yang ingin menjadi Katolik harus belajar agama Katolik dulu selama setahun. Kalau  tidak lulus,dia tidak akan dibaptis.
Paradigma Gereja Katolik jelas, yakni menghadirkan kerajaan Allah dalam bentuk karya sosial, pendidikan yang memanusiakan. Maka Katolik lebih membangun sikap inklusif yang integral dan terbuka, tanpa memandang sukuatau agama. Pembaptisan itu urusan Roh Kudus. Namun bagaimana untuk hidup jujur, adil, itu urusan orang-orang Katolik.

Jadi, sekali lagi, paradigma gereja Katolik itu jelas. Tetapi persoalan gereja lain, terutama yang di luar Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), kerap kali jadi masalah. Karena cara berpikir mereka masih model lama: mencari jiwa-jiwa. Padahal mencari jiwa-jiwa baru itu merupakan urusan Tuhan Allah, bukan urusan kita.

Maka, saya mengajak seluruh gereja yang ada di Indonesia, untuk membangun gereja yang ramah lingkungan. Gereja yang mewartakan keadilan, memperjuangkan orang-orang yang miskin dan papa. Bila gereja disebut  berpihak kepada orang miskin, maka gereja harus menjadi gereja yang humble (rendah hati), sederhana. Gereja harus berpihak kepada keadilan dan kemanusiaan. Itulah pewartaan jaman ini.

Kita percaya, seseorang masuk Katolik  bukan karena kita mewartakan agama kepadanya,  tetapi lewat perbuatan. Kalau orang Katolik jujur, berbuat baik, hidup sederhana, tidak sombong atau angkuh, seperti gereja perdana, itu akan  disukai. Tetapi kalau sebaliknya, maka wajar saja bila gereja tidak disukai. Kekristenan di Indonesia dewasa ini juga harus  mau merekonstruksi cara beragama  sehingga tidak hanya mementingkan aspek  aksesoris dan melupakan yang substansial itu.

Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI)  membangun teologi yang inklusif. Tetapi gereja-gereja tertentu yang berada di luar PGI, gereja perorangan yang tanpa struktur, itu yang sulit. Karena mereka berdasarkan kharisma. Dan teologi mereka juga “sulit” karena berdasarkan ajaran personal, dan getol “mencari jiwa-jiwa baru”. Kita sebagai orang Kristen harus menampilkan sikap seperti Yesus yang mewartakan kabar gembira, kabar sukacita.

Kalaupun ada pihak-pihak yang membenci gereja dan kekristenan, itu juga tergantung pada bagaimana kita berelasi. Dan kalaupun ada orang-orang yang intoleran di tengah-tengah masyarakat, mereka itu hanyalah kelompok kecil. Kalau kita dibenci, mungkin juga  disebabkan kesalahan kita sendiri, karena kurang bisa membangun adaptasi kultural. Ini penting diperhatikan, karena  gereja Kristen kerapkali asing dengan kultur. Maka gereja menimbulkan kecurigaan, dan rasa tidak simpati masyarakat. Dan bila itu yang terjadi, maka itu adalah kesalahan kita sendiri.

Maka cobalah menerapkan gereja perdana, kita pasti disukai. Ketika saudaramu lapar kau memberidia makan. Ketika saudaramu bermasalah, kamu datangi dulu dia, barulah pergi beribadah. Gereja yang menerapkan kehidupan gereja perdana, pasti akan disukai. Di mana pun kita hidup, di kampung, desa, atau perkumpulan, kalau kita bersosialasi dengan baik, tidak akan ada masalah. Marilah menjadi gereja  yang ramah lingkungan dan peduli kehidupan sekitar. Mari kita umat Kristen di Indonesia menjadikan itu sebagai cara berpikir, bertindak, bernalar, berelasi. Itu saja kok kuncinya.

Romo Benny Susetyo, lahir di Malang, 10 Oktober 1968. Alumni Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Widya Sasana Malang tahun 1996. Dia seorang pastor muda pengusung gerakan moral bangsa. Dia juga  aktivis penggerak manusia merdeka dan setara. Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan (HAK) Konferensi Waligereja Indonesia, dan  Pendiri (Founding Partner) Setara Institute (Institute for Democracy and Peace).