Pendidikan Inklusif
Sudah Harus Digalakkan
MEMANG ada masalah di bangsa ini, terutama jika
dikaitkan dari segi pluralitas. Tapi persoalan kita adalah hukum yang tidak
ditegakkan.Namun tingkat intoleransi
yang tergolong tinggi itu kan hanya di beberapa daerah. Aksi kekerasan bermotif
keagamaan kebanyakan terjadi di wilayah Jawa Barat. Sementara di daerah-daerah
yang lain relatif. Namun persoalanyang
terjadi atas kebhinnekaan itu adalah karena hukum tidak ditegakkan.Kalau hukum
ditegakkan, aturan main dijalankan, tentu tidak ada masalah.
Misalnya persoalan rumah ibadah.
Kalau orang mengikuti aturan Peraturan Bersama Menteri (Perber)Bab IV tentang
Pendirian Rumah Ibadah, maka sebenarnya
tidak ada persoalan dalammendirikan rumah ibadah. Karena syaratnya harus
ada minimal 90 (sembilan puluh) orang pengguna rumah ibadah tersebut yang
disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah.Lalu ada
paling sedikit 60 masyarakat setempat yang memberikan dukungan dan disahkan
oleh kepala kelurahan/desa. Selanjutnya ada rekomendasi tertulis kepala kantor
kementerian agama kabupaten/kota dan rekomendasi tertulis Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB) kabupaten/kota. Jadi tidak ada alasan orang sulit mendirikan
rumah ibadah.Bila ada 90 orang (yang bisa dibuktikan dengan KTP) bisa
mendirikan tempat ibadah. Bila tidak ada dukungan lingkungan maka kewajiban
pemerintah menyediakan fasilitas.
Persoalannya adalah hukum yang
tidak ditegakkan. Artinya penguasa tidak mau menjalankan
amanat konstitusi. Kalau penguasa menjalankan amanat konstitusi secara tegas, jelas
dan pelaku kekerasan dihukum, selesai! Tetapi yang ini sulit, karena tidak ada
kemauan politik. Itu persoalannya. Semua persoalan bangsa yang timbul
akhir-akhir ini mestinya bisa diatasi, karena ada mekanisme hukum. Kalau polisi menjalankan tugasnya, dalam arti menindak para pelaku
kekerasan setimpal dengan perbuatannya, ini pasti menimbulkan efek jera. Tapi sebaliknya, kalau hukum tidak
dijalankan maka yang ada adalah semacam
lingakaran setan.
Jadi sekali lagi, ini merupakan
persoalan konstitusi. Dalam konstitusi
sudah tegas bahwa negara menjamin kebebasan beragama, dan negara memberikan
perlindungan yang sama terhadap setiap warga negara dalam menjalankan aktivitas
keagamaan sesuai keyakinan masing-masing. Maka konstitusi harus ditegakkan.
Kekuatan masyarakat sipil harus terus-menerus memonitor, dan bahkan
mendesak penguasa agar menjalankan amanat konstitusi. Itu saja jalan keluarnya.
Banyak orang berbicara tentang
kemungkinan terjadi disintegrasi bangsa terkait semakin kurangnya perlindungan
dan penghormatan terhadap pluralitas. Tapi
saya sendiri tidak melihat kemungkinan itu.
Peluang disintegrasi tidak akan ada
di negeri ini. Sebab kita berbeda dengan Uni Soviet. Kita ini sudah hidup plural sejak dahulu kala. Pluralitas itu sudah menjadi habit bangsa ini. Karena
cara berpikir, bertindak, bernalar secara pluralitas itu sudah mendarah daging
di masyarakat kita. Jadi tidak akan mungkin
terjadi disintegrasi.
Intoleransi menyebabkan
disintegrasi? Logikanya tidak ada. Tidak bisa itu. Aksi-aksi intoleransi itu hanya mencoreng nama Indonesia di dunia internasional. Dunia
akan melihat bahwa bangsa yang plural gagal membangun
pluralisme. Dan ketika ada yang menyebut kita sebagai negara gagal, ukurannya apa? Negara gagal
harus dilihat dati banyak faktor.Yang benar adalah negara kita sedang dalam proses menuju demokrasi. Kegagalan kita
adalah pemerintah yang abai, tidak
menjalankan amanat konstitusi. Tetapi gara-gara itu tidak bisa
negara kita dinilai gagal. Maka dari itu, kita harus mendorong
pemerintah supaya bertindak tegas terhadap pelaku kekerasan yang membawa-bawa
agama itu.
Kalau ternyata sang pemimpin
tidak mau? Ya harus ada dorongan
dari DPR/parlemen, dan masyarakat. Kalau pemerintah tetap diam saja, dan kalau
parlemennya juga tidak berbuat apa-apa, itu
berarti harus ada pilihan
baru. Artinya, dalam Pemilu 2014 nanti, kita carilah pemimpin yang tidak
desesif, tetapi pemimpin yang punya
kemauan untuk menegakkan konstitusi. Saya yakin sosok seperti itu ada di bangsa
kita. Jadi kita jangan melihat
secara pesimis. Negara tidak akan
kiamat gara-gara intoleransi. Apalagi masa kepemimpinan pemerintah saat ini
hanya tinggal beberapa bulan
lagi.
Kita harus positif melihat masa
depan bangsa dan negara ini, sebab sekarang banyak orang rindu melihat
keindonesiaan yang murni. Kita
bisa melihat bahwa sepuluh tahun ini relasi
keagamaan sebenarnya cukup positif.
Memang ada yang negatif tetapi tidak bisa digeneralisasi seperti itu. Pendidikan inklusif itu sudah harus
digalakkan. Sikap hidup inklusif menjadi
cara bertindak berpikir bernalar bangsa ini. Memang ada pihak-pihak yang sudah mendidik anak-anak mereka dari
sejak kecil untuk menjadi intoleran. Mereka mengajari anak-anaknya untuk
membenci orang yang punya keyakinan lain, dan bahkan mencap orang yang berbeda
kayakinan dengan mereka sebagai kafir! Namun
kelompok seperti itu jumlahnya kecil. Dan
mereka itu sebenarnya tidak disukai.
Gereja ramah
lingkungan
Dibandingkan dengan gereja lain
di Indonesia, Katolik relatif aman.
Itu karena Katolik membangun sikap gereja yang ramah lingkungan dan peduli
masyarakat sekitarnya. Karena
Katolik adalah gereja inkulturasi. Gereja
Katolik adalah gereja yang meng-Indonesia. Sementara ada gereja lain yang
eksklusif, beberapa di antaranya, boleh dikatakan, lupa pada inkulturasi itu.
Sehingga terjadi benturan.
Misi Gereja Katolik,
pertama-tama, bukan membangun gereja.
Karena gereja Katolik, pertama-tama
lebih pada membangun sosialisasi dengan masyarakat. Maka hal pertama
yang diupayakan gereja Katolik adalah sarana pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, baru gereja. Karena bagi umat
Katolik, gereja itu hanya sarana hadirat
Allah. Maka gereja yang ramah lingkungan dan peduli kehidupan di sekitarnya,
itu menjadi model gereja Katolik sejak
awal. Karena misi Katolik
sejak awal itu lebih menekankan kepada pendekatan kultural.
Gereja Katolik tetap setia pada panggilannya, yakni
memajukan harkat kemanusiaan, bukan semata untuk urusan pembaptisan. Untuk menjadi orang Katolik itu sulit. Seseorang yang ingin menjadi Katolik
harus belajar agama Katolik dulu selama setahun. Kalau tidak lulus,dia
tidak akan dibaptis.
Paradigma Gereja Katolik jelas, yakni menghadirkan kerajaan Allah dalam
bentuk karya sosial, pendidikan yang memanusiakan. Maka Katolik lebih membangun sikap inklusif yang integral dan
terbuka, tanpa memandang sukuatau agama. Pembaptisan
itu urusan Roh Kudus. Namun
bagaimana untuk hidup jujur, adil, itu urusan orang-orang Katolik.
Jadi, sekali lagi, paradigma
gereja Katolik itu jelas. Tetapi persoalan gereja lain, terutama yang di luar
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), kerap kali jadi masalah. Karena
cara berpikir mereka masih model lama: mencari jiwa-jiwa. Padahal mencari
jiwa-jiwa baru itu merupakan urusan Tuhan Allah, bukan urusan kita.
Maka, saya mengajak seluruh
gereja yang ada di Indonesia, untuk membangun gereja yang ramah lingkungan. Gereja yang mewartakan keadilan,
memperjuangkan orang-orang yang miskin dan papa. Bila gereja disebut
berpihak kepada orang miskin, maka gereja harus menjadi gereja yang
humble (rendah hati), sederhana.
Gereja harus berpihak kepada keadilan dan kemanusiaan. Itulah pewartaan jaman ini.
Kita percaya, seseorang masuk
Katolik bukan karena kita mewartakan
agama kepadanya, tetapi lewat perbuatan.
Kalau orang Katolik jujur, berbuat baik, hidup sederhana, tidak sombong atau
angkuh, seperti gereja perdana, itu akan
disukai. Tetapi kalau sebaliknya, maka
wajar saja bila gereja tidak
disukai. Kekristenan di Indonesia
dewasa ini juga harus mau merekonstruksi
cara beragama sehingga tidak hanya
mementingkan aspek aksesoris dan
melupakan yang substansial itu.
Persekutuan Gereja-gereja di
Indonesia (PGI) dan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) membangun teologi yang inklusif. Tetapi
gereja-gereja tertentu yang berada di luar PGI, gereja perorangan yang tanpa
struktur, itu yang sulit. Karena
mereka berdasarkan kharisma. Dan
teologi mereka juga “sulit” karena berdasarkan ajaran personal, dan getol “mencari
jiwa-jiwa baru”. Kita sebagai
orang Kristen harus menampilkan sikap seperti Yesus yang mewartakan kabar gembira, kabar sukacita.
Kalaupun ada pihak-pihak yang
membenci gereja dan kekristenan, itu juga tergantung pada bagaimana kita
berelasi. Dan kalaupun ada
orang-orang yang intoleran di tengah-tengah masyarakat, mereka itu hanyalah
kelompok kecil. Kalau kita
dibenci, mungkin juga disebabkan
kesalahan kita sendiri, karena kurang bisa membangun adaptasi kultural. Ini
penting diperhatikan, karena gereja Kristen
kerapkali asing dengan kultur. Maka gereja menimbulkan kecurigaan, dan rasa
tidak simpati masyarakat. Dan bila
itu yang terjadi, maka itu adalah kesalahan kita sendiri.
Maka cobalah menerapkan gereja
perdana, kita pasti disukai. Ketika saudaramu lapar kau memberidia makan.
Ketika saudaramu bermasalah, kamu
datangi dulu dia, barulah pergi beribadah.
Gereja yang menerapkan kehidupan gereja perdana, pasti akan disukai. Di
mana pun kita hidup, di kampung, desa, atau perkumpulan, kalau kita
bersosialasi dengan baik, tidak akan ada
masalah. Marilah menjadi gereja yang
ramah lingkungan dan peduli kehidupan sekitar. Mari kita umat Kristen di
Indonesia menjadikan itu sebagai cara berpikir, bertindak, bernalar, berelasi.
Itu saja kok kuncinya.
Romo Benny Susetyo,
lahir di Malang, 10 Oktober 1968. Alumni Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat
dan Teologi (STFT) Widya Sasana Malang tahun 1996. Dia seorang pastor muda pengusung
gerakan moral bangsa. Dia juga aktivis
penggerak manusia merdeka dan setara. Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan
Agama dan Kepercayaan (HAK) Konferensi Waligereja Indonesia, dan Pendiri (Founding Partner) Setara Institute
(Institute for Democracy and Peace).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar