Kamis, 11 Juli 2013

Nyalakan Pancasila



Pendidikan Inklusif Sudah Harus Digalakkan

MEMANG ada  masalah di bangsa ini, terutama jika dikaitkan dari segi pluralitas. Tapi persoalan kita adalah hukum yang tidak ditegakkan.Namun  tingkat intoleransi yang tergolong tinggi itu kan hanya di beberapa daerah. Aksi kekerasan bermotif keagamaan kebanyakan terjadi di wilayah Jawa Barat. Sementara di daerah-daerah yang lain relatif. Namun  persoalanyang terjadi atas kebhinnekaan itu adalah karena hukum tidak ditegakkan.Kalau hukum ditegakkan, aturan main dijalankan, tentu tidak ada masalah.

Misalnya persoalan rumah ibadah. Kalau orang mengikuti aturan Peraturan Bersama Menteri (Perber)Bab IV tentang Pendirian Rumah Ibadah, maka sebenarnya  tidak ada persoalan dalammendirikan rumah ibadah. Karena syaratnya harus ada minimal 90 (sembilan puluh) orang pengguna rumah ibadah tersebut yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah.Lalu ada paling sedikit 60 masyarakat setempat yang memberikan dukungan dan disahkan oleh kepala kelurahan/desa. Selanjutnya ada rekomendasi tertulis kepala kantor kementerian agama kabupaten/kota dan rekomendasi tertulis Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kabupaten/kota. Jadi tidak ada alasan orang sulit mendirikan rumah ibadah.Bila ada 90 orang (yang bisa dibuktikan dengan KTP) bisa mendirikan tempat ibadah. Bila tidak ada dukungan lingkungan maka kewajiban pemerintah menyediakan fasilitas.

Persoalannya adalah hukum yang tidak ditegakkan.  Artinya penguasa tidak mau menjalankan amanat konstitusi. Kalau penguasa menjalankan amanat konstitusi secara tegas, jelas dan pelaku kekerasan dihukum, selesai! Tetapi yang ini sulit, karena tidak ada kemauan politik. Itu persoalannya. Semua persoalan bangsa yang timbul akhir-akhir ini mestinya bisa diatasi, karena ada mekanisme hukum. Kalau polisi menjalankan tugasnya, dalam arti menindak para pelaku kekerasan setimpal dengan perbuatannya, ini pasti menimbulkan efek jera. Tapi sebaliknya, kalau hukum tidak dijalankan maka yang ada adalah semacam  lingakaran setan.

Jadi sekali lagi, ini merupakan persoalan konstitusi. Dalam konstitusi sudah tegas bahwa negara menjamin kebebasan beragama, dan negara memberikan perlindungan yang sama terhadap setiap warga negara dalam menjalankan aktivitas keagamaan sesuai keyakinan masing-masing. Maka konstitusi harus ditegakkan. Kekuatan masyarakat sipil harus terus-menerus memonitor, dan bahkan mendesak  penguasa agar menjalankan amanat konstitusi. Itu saja jalan keluarnya.

Banyak orang berbicara tentang kemungkinan terjadi disintegrasi bangsa terkait semakin kurangnya perlindungan dan penghormatan terhadap pluralitas. Tapi saya sendiri tidak melihat kemungkinan itu. Peluang disintegrasi tidak akan ada di negeri ini. Sebab kita berbeda dengan Uni Soviet. Kita ini sudah hidup plural sejak dahulu kala. Pluralitas  itu sudah menjadi habit bangsa ini. Karena cara berpikir, bertindak, bernalar secara pluralitas itu sudah mendarah daging di masyarakat kita. Jadi tidak akan mungkin terjadi disintegrasi.

Intoleransi menyebabkan disintegrasi? Logikanya tidak ada. Tidak bisa itu. Aksi-aksi intoleransi itu hanya mencoreng nama Indonesia di dunia internasional. Dunia akan melihat  bahwa bangsa yang plural gagal membangun pluralisme. Dan ketika ada yang menyebut kita sebagai  negara gagal, ukurannya apa? Negara gagal harus dilihat dati banyak faktor.Yang benar adalah negara kita sedang  dalam proses menuju demokrasi. Kegagalan kita adalah pemerintah yang abai, tidak menjalankan amanat konstitusi. Tetapi gara-gara itu tidak  bisa  negara kita dinilai gagal. Maka dari itu, kita harus mendorong pemerintah supaya bertindak tegas terhadap pelaku kekerasan yang membawa-bawa agama itu.

Kalau ternyata sang pemimpin tidak mau? Ya harus ada dorongan dari DPR/parlemen, dan masyarakat. Kalau pemerintah tetap diam saja, dan kalau parlemennya juga tidak berbuat apa-apa, itu  berarti harus ada pilihan baru. Artinya, dalam Pemilu 2014 nanti, kita carilah pemimpin yang tidak desesif,  tetapi pemimpin yang punya kemauan untuk menegakkan konstitusi. Saya yakin sosok seperti itu ada di bangsa kita. Jadi kita jangan melihat secara pesimis. Negara tidak akan kiamat gara-gara intoleransi. Apalagi masa kepemimpinan pemerintah saat ini hanya tinggal beberapa bulan lagi.

Kita harus positif melihat masa depan bangsa dan negara ini, sebab sekarang banyak orang rindu melihat keindonesiaan yang murni. Kita bisa melihat bahwa sepuluh tahun ini relasi keagamaan sebenarnya cukup positif. Memang ada yang negatif tetapi tidak bisa digeneralisasi seperti itu. Pendidikan inklusif itu sudah harus digalakkan. Sikap hidup inklusif  menjadi cara bertindak berpikir bernalar bangsa ini. Memang ada pihak-pihak yang sudah mendidik anak-anak mereka dari sejak kecil untuk menjadi intoleran. Mereka mengajari anak-anaknya untuk membenci orang yang punya keyakinan lain, dan bahkan mencap orang yang berbeda kayakinan dengan mereka sebagai kafir! Namun kelompok seperti itu jumlahnya kecil. Dan mereka itu sebenarnya tidak disukai.

Gereja ramah lingkungan

Dibandingkan dengan gereja lain di Indonesia, Katolik relatif aman. Itu karena Katolik membangun sikap gereja yang ramah lingkungan dan peduli masyarakat sekitarnya. Karena Katolik adalah gereja inkulturasi. Gereja Katolik adalah gereja yang meng-Indonesia. Sementara ada gereja lain yang eksklusif, beberapa di antaranya, boleh dikatakan, lupa pada inkulturasi itu. Sehingga terjadi benturan.

Misi Gereja Katolik, pertama-tama, bukan membangun gereja.  Karena gereja Katolik, pertama-tama  lebih pada membangun sosialisasi dengan masyarakat. Maka hal pertama yang diupayakan gereja Katolik adalah sarana pendidikan, rumah sakit,  panti asuhan, baru gereja. Karena bagi umat Katolik, gereja itu  hanya sarana hadirat Allah. Maka gereja yang ramah lingkungan dan peduli kehidupan di sekitarnya, itu  menjadi model gereja Katolik sejak awal. Karena  misi Katolik sejak awal itu lebih menekankan kepada pendekatan kultural.

Gereja Katolik tetap setia pada panggilannya, yakni memajukan harkat kemanusiaan, bukan semata untuk urusan pembaptisan. Untuk menjadi orang Katolik itu sulit. Seseorang yang ingin menjadi Katolik harus belajar agama Katolik dulu selama setahun. Kalau  tidak lulus,dia tidak akan dibaptis.
Paradigma Gereja Katolik jelas, yakni menghadirkan kerajaan Allah dalam bentuk karya sosial, pendidikan yang memanusiakan. Maka Katolik lebih membangun sikap inklusif yang integral dan terbuka, tanpa memandang sukuatau agama. Pembaptisan itu urusan Roh Kudus. Namun bagaimana untuk hidup jujur, adil, itu urusan orang-orang Katolik.

Jadi, sekali lagi, paradigma gereja Katolik itu jelas. Tetapi persoalan gereja lain, terutama yang di luar Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), kerap kali jadi masalah. Karena cara berpikir mereka masih model lama: mencari jiwa-jiwa. Padahal mencari jiwa-jiwa baru itu merupakan urusan Tuhan Allah, bukan urusan kita.

Maka, saya mengajak seluruh gereja yang ada di Indonesia, untuk membangun gereja yang ramah lingkungan. Gereja yang mewartakan keadilan, memperjuangkan orang-orang yang miskin dan papa. Bila gereja disebut  berpihak kepada orang miskin, maka gereja harus menjadi gereja yang humble (rendah hati), sederhana. Gereja harus berpihak kepada keadilan dan kemanusiaan. Itulah pewartaan jaman ini.

Kita percaya, seseorang masuk Katolik  bukan karena kita mewartakan agama kepadanya,  tetapi lewat perbuatan. Kalau orang Katolik jujur, berbuat baik, hidup sederhana, tidak sombong atau angkuh, seperti gereja perdana, itu akan  disukai. Tetapi kalau sebaliknya, maka wajar saja bila gereja tidak disukai. Kekristenan di Indonesia dewasa ini juga harus  mau merekonstruksi cara beragama  sehingga tidak hanya mementingkan aspek  aksesoris dan melupakan yang substansial itu.

Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI)  membangun teologi yang inklusif. Tetapi gereja-gereja tertentu yang berada di luar PGI, gereja perorangan yang tanpa struktur, itu yang sulit. Karena mereka berdasarkan kharisma. Dan teologi mereka juga “sulit” karena berdasarkan ajaran personal, dan getol “mencari jiwa-jiwa baru”. Kita sebagai orang Kristen harus menampilkan sikap seperti Yesus yang mewartakan kabar gembira, kabar sukacita.

Kalaupun ada pihak-pihak yang membenci gereja dan kekristenan, itu juga tergantung pada bagaimana kita berelasi. Dan kalaupun ada orang-orang yang intoleran di tengah-tengah masyarakat, mereka itu hanyalah kelompok kecil. Kalau kita dibenci, mungkin juga  disebabkan kesalahan kita sendiri, karena kurang bisa membangun adaptasi kultural. Ini penting diperhatikan, karena  gereja Kristen kerapkali asing dengan kultur. Maka gereja menimbulkan kecurigaan, dan rasa tidak simpati masyarakat. Dan bila itu yang terjadi, maka itu adalah kesalahan kita sendiri.

Maka cobalah menerapkan gereja perdana, kita pasti disukai. Ketika saudaramu lapar kau memberidia makan. Ketika saudaramu bermasalah, kamu datangi dulu dia, barulah pergi beribadah. Gereja yang menerapkan kehidupan gereja perdana, pasti akan disukai. Di mana pun kita hidup, di kampung, desa, atau perkumpulan, kalau kita bersosialasi dengan baik, tidak akan ada masalah. Marilah menjadi gereja  yang ramah lingkungan dan peduli kehidupan sekitar. Mari kita umat Kristen di Indonesia menjadikan itu sebagai cara berpikir, bertindak, bernalar, berelasi. Itu saja kok kuncinya.

Romo Benny Susetyo, lahir di Malang, 10 Oktober 1968. Alumni Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Widya Sasana Malang tahun 1996. Dia seorang pastor muda pengusung gerakan moral bangsa. Dia juga  aktivis penggerak manusia merdeka dan setara. Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan (HAK) Konferensi Waligereja Indonesia, dan  Pendiri (Founding Partner) Setara Institute (Institute for Democracy and Peace).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar