Kamis, 25 Juli 2013

Salib: Mati atas Ego

H. Tedjoworo,osc

[Monyet di perempatan jalan itu kelihatan masih kecil dan kurus kering. Rantai terpasang di lehernya. Matanya, andai bisa bicara, menunjukkan ketakutan amat sangat dan tiadanya pilihan. Hidupnya akan berakhir di perempatan jalan. Ia harus meloncat-loncat, melakukan atraksi-atraksi konyol seturut paksaan seorang anak kecil tuannya, yang entah membayar berapa untuk menyewa monyet itu setiap hari. Saya lihat di perempatan itu tidak seorang pun pengendara motor atau mobil yang menyaksikan kelihatan terhibur atau tertawa. Sebaliknya, yang saya lihat adalah tatapan kasihan, tak berdaya, tak peduli. Maka, monyet yang matanya ketakutan karena terus menerus diperlakukan kasar itu, dengan ironis, ‘menghibur’ orang-orang yang sama sekali tidak terhibur; bahkan, ia ‘menghibur’ dengan terpaksa dan ketakutan. Menyedihkan. Hidup demikian kejam bagi monyet itu. Berapa lama ia akan tahan? Bisakah ia menangis? Bisakah ia berceritera tentang harapannya, kalau toh masih ada dalam keadaan itu? Mana yang ‘lebih baik’ baginya, hidup seperti itu, atau mati saja? Betapa mengerikan kalau itu menimpa diri kita. Dalam hitungan menit kita takkan bertahan, dan mungkin memohon supaya hidup kita diambil saja saat itu. Siapa yang tahan, bila dijatuhkan, dan dihancurkan, berkali-kali...]

Verbum Crucis, Virtus Dei. Sabda Salib adalah Kuasa Allah. Kalau Salib adalah Kuasa dan Hikmat, berarti kita menantang orang-orang Yahudi yang menyebutnya ‘scandalon’ (sandungan) dan juga orang-orang Yunani yang menyebutnya ‘morion’ (ketololan, kebodohan) (1Kor 1:17-25). Entah siapa yang mau berpikir bahwa salib adalah kekuasaan Allah, karena yang jelas kelihatan di sana adalah kekalahan, kejatuhan dan kegagalan. Entah di mana kuasa Allah pada salib! Sosok yang ‘seharusnya’ mahakuasa dan mahamulia itu digantung dan ‘diselesaikan’ di sana. Dia adalah ‘skandal’ karena tidak sesuai dengan harapan manusia. Seorang Mesias yang tidak mampu menyelamatkan diri-Nya sendiri? (Luk 23:35). Yang benar saja.

Salib juga tidak berhasil meyakinkan pikiran siapapun, sebab yang ada adalah kata-kata ‘tidak mengerti’, ‘tidak masuk akal’. Orang-orang menggelengkan kepalanya karena tidak mampu melihat hikmat dan kebijaksanaan pada salib. Kalau tidak masuk akal, mengapa dipaksakan untuk mengerti? Alangkah dalam cogito ergo sum Descartes itu meracuni kita. “Aku berpikir, maka aku ada”. “Kalian yang tidak bisa berpikir, maaf, kalian tidak ada, tidak dianggap.” Musnahkan saja orang-orang yang lemah dan tidak berguna, seperti pada zaman Nazi? Dunia ini hanya untuk orang pandai dan berguna.

Seperti Heidegger yang mencoret kata ‘Being’, atau Marion yang mencoret kata ‘God’, bagaimana kalau nama Anda masing-masing pun dicoret? Maaf, Anda ini tidak penting. Mau ada atau tidak, dunia jalan terus. Bahkan mungkin akan lebih baik kalau Anda tidak ada, tidak dianggap. Bagaimana kalau dalam salib iman kita masing-masing, hikmat dan kuasa Anda dicoret? Sakit hati? Mengapa sakit hati? Karena kita pikir itu segala-galanya dalam hidup kita. Kita pikir, kita bisa hidup dengan kuasa dan kepandaian semata. Kita pikir, hidup ini hanya perkara survival of the fittest-nya Darwin. Salah! Yang mahakuasa dan mahabijaksana pun sudah dicoret di kayu salib! Dan itu-lah sebabnya Dia pernah mengatakan, “Berbahagialah orang yang miskin dan dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga” (Mat 5:3.10).

Verbum Crucis, Virtus Dei. Sabda salib, adalah Kuasa Allah, bukan kuasa dan hikmat manusia. Mungkin kita lupa dengan kata ‘Allah’ di sana. Sebab, yang disalibkan, yang dicoret, adalah kuasa dan hikmat kita sebagai manusia. Kemanusiaan Yesus memang kalah dan dihancurkan habis-habisan. Kalau Ia memang tak berdaya, lunglai, pasrah ditarik dan didorong, dicambuk sampai ke Kalvari, itu semua untuk menunjukkan kepada kita bahwa apapun yang kita andalkan dari diri sendiri akan dijadikan NOL besar! Nothing! Anda akan gagal. Tiap kali merasa sedikit punya kekuatan untuk bangkit, Anda akan didorong dan dijatuhkan lagi, dan lagi, dan lagi. Kalau mau ‘mengerti’ apa itu salib, kita memang harus dihancurkan berkeping-keping, berkali-kali.

Apakah kita pikir hidup itu kejam? Ya. Bukankah kita tidak bisa ‘melihat’ ketidakberdayaan dan ketakutan di mata monyet kecil di perempatan jalan itu? Sehebat apapun dia melakukan atraksi, jumpalitan tidak keruan, tetap saja orang-orang yang menyaksikan tidak tertawa, tidak terhibur, tapi juga tidak menangis melihat kekejaman itu. Betapa sia-sia usaha monyet itu. Ia hanya diberi secuil makanan sebelum ditarik-tarik dan dipukuli lagi setiap kali mau istirahat sejenak.

Pertanyaan yang mungkin membuat kita tertawa adalah: apakah Anda pernah gagal? Mengapa? Karena kita tahu semua orang pernah gagal. Soalnya menjadi lain kalau pertanyaannya: berapa kali Anda gagal? Nah, kita baru mulai berpikir. Kita punya mimpi, banyak mimpi. Dan manakala satu per satu mimpi itu kandas, buyar, tidak terwujud, kita mulai bertanya: Tuhan, mau-Mu apa? Apalagi kalau kita sudah sekian lama berjuang, jatuh, bangkit lagi, jatuh, bangkit lagi, cepat atau lambat kita akan sampai pada keadaan diam, tatapan kosong, tidak tahu harus berbuat apa lagi. Kalau mau mengalami ‘kuasa’ Allah dalam salib, kita memang harus dipereteli, ditelanjangi, habis-habisan, berkali-kali. [Dream Theater, “Build Me Up, Break Me Down”]
Baru setelahnya, kita akan melihat, dan hanya melihat, bahwa Allah bekerja. Bukan kita, tapi Allah bekerja. Dia tidak bisa bekerja, kalau kita terlalu hebat, terlalu mengontrol segala-galanya dan memegang kendali atas keadaan. Namun, betapa sulitnya kita mundur ! Betapa sulitnya kita melepaskan kehebatan dan kepandaian kita! Betapa beratnya kita mengikhlaskan mimpi yang tidak kunjung jadi kenyataan (malah kita mencoba tidur lagi untuk ‘melanjutkan’ mimpi kita).

Mengapa begitu berat untuk melepaskan ‘ego’? Karena kita begitu sayang padanya! Karena kita tidak mau berubah, tidak mau diubah. Kita mau SEPERTI INI. Perhatikan saja, alangkah dahsyat gengsi kita dibela mati-matian. Ditegur saja marah, apalagi dijegal. Kita terlalu banyak ngomong, terlalu banyak rencana. Bahkan sering mau membela rencana sendiri, daripada menyesuaikan diri pada rencana Allah. Lalu kita berdalih, “Saya ‘kan tidak tahu apa rencana Allah?” Bukan. Bukan tidak tahu, tapi tidak mau diam, tidak mau dibelokkan. Keukeuh.

Lalu bagaimana Allah ‘berbicara’ di salib? Ia berbicara supaya kita ‘ikut saja’, ‘bernafas saja’. Jadilah saksi. “Dalam kelemahan kita, kuasa Allah menjadi sempurna” (2Kor 12:9-10). Kadang-kadang, yang minimum dari yang masih BISA kita lakukan itu pun sudah cukup. Kita bukan monyet kecil di perempatan jalan itu. Kita masih punya harapan dan percaya bahwa kuasa Allah itu sempurna, akan mengejutkan. Kita tidak akan tahu sebelumnya. Kuasa itu takkan terduga oleh hikmat kita. Tapi syaratnya satu, berhentilah dengan rencana kita, dan ‘ikuti saja’ kita akan dibawa ke mana. Semakin memaksakan diri, kita hanya akan semakin kesakitan, dan kehilangan harapan.

Bersaksi akan salib Kristus, dimulai dengan membiarkan ‘ego’ kita dihancurkan, meski terkadang harus berkali-kali. Dari ‘subjek’ menjadi ‘saksi’. Dari I menjadi me. Katakanlah, “Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna...” (Luk 17:10). Jangan menantang Tuhan apalagi di saat-saat paling gelap hidup kita. Lakukan yang paling minimum sekalipun yang masih bisa kita lakukan. Berikan saja tangan kita untuk dituntun masuk ke dalam rencana-Nya. Kita mungkin akan ‘kehilangan’ kepandaian dan kehebatan kita itu, tetapi sesuatu yang mengejutkan akan kita alami. Hidup kita mungkin akan dianggap ‘skandal’ dan kebodohan, juga oleh para sahabat dekat, tetapi bagi kita sendiri justru makin bermakna dan pantas untuk disyukuri.

Allah baru bekerja, saat ‘diri’ kita disalibkan. Verbum Crucis, Virtus Dei. Pada Salib, kuasa Allah sempurna. Salib akan ‘bersabda’, ketika kita belajar diam, mengalahkan dan mencoret diri kita sendiri. Belajarlah mengalami, memandang, terlibat. Jangan menilai. Jangan mengatakan “aku berpikir, maka aku ada.” Biarkan pikiran kita, kehebatan ‘subjek’ dalam diri kita, dipereteli, dicabik-cabik, dihanguskan, oleh Salib Yesus. Dan pada saat itu, kuasa Allah akan membanjiri mata dan menggetarkan telinga kita: “Akulah Yahweh, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tempat perbudakan. Aku, Yahweh, Allahmu, adalah Allah yang cemburu” (Kel 20:2.5). Jangan melawan. Jangan menantang. Biarkan dirimu dihancurkan oleh-Nya. Biarkan Dia membentukmu kembali, sesuai kehendak-Nya. Kamu akan kehilangan dirimu sendiri, tapi kamu akan memandang kuasa-Nya bekerja, menghidupkanmu kembali.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar