[Monyet di perempatan jalan itu kelihatan masih kecil
dan kurus kering. Rantai terpasang di lehernya. Matanya, andai bisa bicara,
menunjukkan ketakutan amat sangat dan tiadanya pilihan. Hidupnya akan berakhir
di perempatan jalan. Ia harus meloncat-loncat, melakukan atraksi-atraksi konyol
seturut paksaan seorang anak kecil tuannya, yang entah membayar berapa untuk
menyewa monyet itu setiap hari. Saya lihat di perempatan itu tidak seorang
pun pengendara motor atau mobil yang menyaksikan kelihatan terhibur atau
tertawa. Sebaliknya, yang saya lihat adalah tatapan kasihan, tak berdaya, tak
peduli. Maka, monyet yang matanya ketakutan karena terus menerus diperlakukan
kasar itu, dengan ironis, ‘menghibur’ orang-orang yang sama sekali tidak
terhibur; bahkan, ia ‘menghibur’ dengan terpaksa dan ketakutan. Menyedihkan. Hidup
demikian kejam bagi monyet itu. Berapa lama ia akan tahan? Bisakah ia
menangis? Bisakah ia berceritera tentang harapannya, kalau toh masih ada dalam
keadaan itu? Mana yang ‘lebih baik’ baginya, hidup seperti itu, atau
mati saja? Betapa mengerikan kalau itu menimpa diri kita. Dalam hitungan menit
kita takkan bertahan, dan mungkin memohon supaya hidup kita diambil saja saat
itu. Siapa yang tahan, bila dijatuhkan, dan dihancurkan, berkali-kali...]
Verbum Crucis, Virtus Dei. Sabda Salib adalah Kuasa Allah.
Kalau Salib adalah Kuasa dan Hikmat, berarti kita menantang
orang-orang Yahudi yang menyebutnya ‘scandalon’ (sandungan) dan
juga orang-orang Yunani yang menyebutnya ‘morion’ (ketololan,
kebodohan) (1Kor 1:17-25). Entah siapa yang mau berpikir bahwa salib adalah kekuasaan
Allah, karena yang jelas kelihatan di sana adalah kekalahan, kejatuhan dan
kegagalan. Entah di mana kuasa Allah pada salib! Sosok yang ‘seharusnya’
mahakuasa dan mahamulia itu digantung dan ‘diselesaikan’ di sana. Dia adalah ‘skandal’
karena tidak sesuai dengan harapan manusia. Seorang Mesias yang tidak mampu
menyelamatkan diri-Nya sendiri? (Luk 23:35). Yang benar saja.
Salib juga tidak berhasil meyakinkan pikiran siapapun,
sebab yang ada adalah kata-kata ‘tidak mengerti’, ‘tidak masuk akal’.
Orang-orang menggelengkan kepalanya karena tidak mampu melihat hikmat
dan kebijaksanaan pada salib. Kalau tidak masuk akal, mengapa dipaksakan untuk
mengerti? Alangkah dalam cogito ergo sum Descartes itu meracuni kita.
“Aku berpikir, maka aku ada”. “Kalian yang tidak bisa berpikir, maaf, kalian
tidak ada, tidak dianggap.” Musnahkan saja orang-orang yang lemah dan tidak
berguna, seperti pada zaman Nazi? Dunia ini hanya untuk orang pandai dan
berguna.
Seperti Heidegger yang mencoret kata ‘Being’,
atau Marion yang mencoret kata ‘God’, bagaimana kalau nama Anda
masing-masing pun dicoret? Maaf, Anda ini tidak penting. Mau ada atau tidak,
dunia jalan terus. Bahkan mungkin akan lebih baik kalau Anda tidak ada, tidak
dianggap. Bagaimana kalau dalam salib iman kita masing-masing, hikmat
dan kuasa Anda dicoret? Sakit hati? Mengapa sakit hati? Karena kita
pikir itu segala-galanya dalam hidup kita. Kita pikir, kita bisa hidup dengan
kuasa dan kepandaian semata. Kita pikir, hidup ini hanya perkara survival of
the fittest-nya Darwin. Salah! Yang mahakuasa dan mahabijaksana pun sudah
dicoret di kayu salib! Dan itu-lah sebabnya Dia pernah mengatakan,
“Berbahagialah orang yang miskin dan dianiaya oleh sebab kebenaran, karena
merekalah yang empunya Kerajaan Sorga” (Mat 5:3.10).
Verbum Crucis, Virtus Dei. Sabda salib, adalah Kuasa Allah,
bukan kuasa dan hikmat manusia. Mungkin kita lupa dengan kata ‘Allah’ di sana.
Sebab, yang disalibkan, yang dicoret, adalah kuasa dan hikmat kita sebagai
manusia. Kemanusiaan Yesus memang kalah dan dihancurkan habis-habisan.
Kalau Ia memang tak berdaya, lunglai, pasrah ditarik dan didorong, dicambuk
sampai ke Kalvari, itu semua untuk menunjukkan kepada kita bahwa apapun
yang kita andalkan dari diri sendiri akan dijadikan NOL besar! Nothing! Anda
akan gagal. Tiap kali merasa sedikit punya kekuatan untuk bangkit, Anda akan
didorong dan dijatuhkan lagi, dan lagi, dan lagi. Kalau mau ‘mengerti’ apa itu
salib, kita memang harus dihancurkan berkeping-keping, berkali-kali.
Apakah kita pikir hidup itu kejam? Ya. Bukankah
kita tidak bisa ‘melihat’ ketidakberdayaan dan ketakutan di mata monyet kecil
di perempatan jalan itu? Sehebat apapun dia melakukan atraksi, jumpalitan tidak
keruan, tetap saja orang-orang yang menyaksikan tidak tertawa, tidak terhibur, tapi
juga tidak menangis melihat kekejaman itu. Betapa sia-sia usaha monyet itu.
Ia hanya diberi secuil makanan sebelum ditarik-tarik dan dipukuli lagi setiap
kali mau istirahat sejenak.
Pertanyaan yang mungkin membuat kita tertawa
adalah: apakah Anda pernah gagal? Mengapa? Karena kita tahu semua orang
pernah gagal. Soalnya menjadi lain kalau pertanyaannya: berapa kali Anda
gagal? Nah, kita baru mulai berpikir. Kita punya mimpi, banyak mimpi. Dan
manakala satu per satu mimpi itu kandas, buyar, tidak terwujud, kita mulai
bertanya: Tuhan, mau-Mu apa? Apalagi kalau kita sudah sekian lama
berjuang, jatuh, bangkit lagi, jatuh, bangkit lagi, cepat atau lambat kita akan
sampai pada keadaan diam, tatapan kosong, tidak tahu harus berbuat apa
lagi. Kalau mau mengalami ‘kuasa’ Allah dalam salib, kita memang harus
dipereteli, ditelanjangi, habis-habisan, berkali-kali. [Dream Theater, “Build
Me Up, Break Me Down”]
Baru setelahnya, kita akan melihat, dan hanya melihat,
bahwa Allah bekerja. Bukan kita, tapi Allah bekerja. Dia tidak bisa
bekerja, kalau kita terlalu hebat, terlalu mengontrol segala-galanya dan
memegang kendali atas keadaan. Namun, betapa sulitnya kita mundur !
Betapa sulitnya kita melepaskan kehebatan dan kepandaian kita! Betapa beratnya
kita mengikhlaskan mimpi yang tidak kunjung jadi kenyataan (malah kita mencoba
tidur lagi untuk ‘melanjutkan’ mimpi kita).
Mengapa begitu berat untuk melepaskan ‘ego’? Karena
kita begitu sayang padanya! Karena kita tidak mau berubah, tidak mau
diubah. Kita mau SEPERTI INI. Perhatikan saja, alangkah dahsyat gengsi
kita dibela mati-matian. Ditegur saja marah, apalagi dijegal. Kita terlalu
banyak ngomong, terlalu banyak rencana. Bahkan sering mau membela rencana
sendiri, daripada menyesuaikan diri pada rencana Allah. Lalu kita
berdalih, “Saya ‘kan tidak tahu apa rencana Allah?” Bukan. Bukan tidak tahu,
tapi tidak mau diam, tidak mau dibelokkan. Keukeuh.
Lalu bagaimana Allah ‘berbicara’ di salib? Ia
berbicara supaya kita ‘ikut saja’, ‘bernafas saja’. Jadilah saksi.
“Dalam kelemahan kita, kuasa Allah menjadi sempurna” (2Kor 12:9-10).
Kadang-kadang, yang minimum dari yang masih BISA kita lakukan itu pun sudah
cukup. Kita bukan monyet kecil di perempatan jalan itu. Kita masih punya
harapan dan percaya bahwa kuasa Allah itu sempurna, akan mengejutkan.
Kita tidak akan tahu sebelumnya. Kuasa itu takkan terduga oleh hikmat kita.
Tapi syaratnya satu, berhentilah dengan rencana kita, dan ‘ikuti saja’ kita
akan dibawa ke mana. Semakin memaksakan diri, kita hanya akan semakin
kesakitan, dan kehilangan harapan.
Bersaksi akan salib Kristus, dimulai dengan membiarkan
‘ego’ kita dihancurkan, meski terkadang harus berkali-kali. Dari ‘subjek’ menjadi
‘saksi’. Dari I menjadi me. Katakanlah, “Kami adalah hamba-hamba
yang tidak berguna...” (Luk 17:10). Jangan menantang Tuhan apalagi di
saat-saat paling gelap hidup kita. Lakukan yang paling minimum sekalipun yang
masih bisa kita lakukan. Berikan saja tangan kita untuk dituntun
masuk ke dalam rencana-Nya. Kita mungkin akan ‘kehilangan’ kepandaian dan
kehebatan kita itu, tetapi sesuatu yang mengejutkan akan kita alami.
Hidup kita mungkin akan dianggap ‘skandal’ dan kebodohan, juga oleh para
sahabat dekat, tetapi bagi kita sendiri justru makin bermakna dan pantas
untuk disyukuri.
Allah baru bekerja, saat ‘diri’ kita disalibkan. Verbum
Crucis, Virtus Dei. Pada Salib, kuasa Allah sempurna. Salib akan
‘bersabda’, ketika kita belajar diam, mengalahkan dan mencoret diri kita
sendiri. Belajarlah mengalami, memandang, terlibat. Jangan menilai. Jangan
mengatakan “aku berpikir, maka aku ada.” Biarkan pikiran kita, kehebatan
‘subjek’ dalam diri kita, dipereteli, dicabik-cabik, dihanguskan, oleh Salib
Yesus. Dan pada saat itu, kuasa Allah akan membanjiri mata dan menggetarkan
telinga kita: “Akulah Yahweh, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tempat
perbudakan. Aku, Yahweh, Allahmu, adalah Allah yang cemburu” (Kel 20:2.5).
Jangan melawan. Jangan menantang. Biarkan dirimu dihancurkan oleh-Nya. Biarkan
Dia membentukmu kembali, sesuai kehendak-Nya. Kamu akan kehilangan dirimu
sendiri, tapi kamu akan memandang kuasa-Nya bekerja, menghidupkanmu kembali.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar